Setiap kisah, entah itu cerita dongeng sebelum tidur, novel, atau karya sastra lainnya umumnya berisi tentang cerita karakter utama yang istimewa. Dengan kelebihannya, ia dapat melakukan suatu tindakan ini dan itu sehingga menyebabkan perubahan yang besar. Tetapi, apakah jadinya apabila yang disorot dari sebuah cerita hanyalah orang biasa yang bukan siapa-siapa? Katakanlah, kehidupan tukang sapu atau petani jelas berbeda dengan kehidupan raja atau panglima perang walau dalam waktu dan tempat yang sama, dalam cerita yang sama, dan mengenai peristiwa yang sama. Kali ini, saya hendak menceritakan kisah mengenai diri saya sendiri. Kisah kehidupan siswa biasa yang bukan juara kelas, bukan aktivis, dan bukan siapa-siapa selama menjalani kehidupan di SMA Labschool Kebayoran.
Janji
Masa putih abu-abu tidak mungkin tiba begitu saja tanpa masa putih biru, alias masa SMP. Ya, seperti anak-anak lainnya, saya adalah siswa SMP sebelum menjadi siswa SMA. Kala itu, saya adalah siswa SMPN 19 yang letaknya tidak jauh dari SMA Labschool Kebayoran. Pada saat itulah saat-saat yang menentukan hidupku kini; saat aku harus menentukan pilihan, kemana saya harus melanjutkan pendidikan. Sebagai anak yang ringkih, ngeri rasanya membayangkan saya bersekolah di sebuah SMA negeri dekat sekolah saya yang hampir identik dengan tawuran. Oleh karena itu, saya memutuskan akan melanjutkan pendidikan ke SMA Labschool Kebayoran. Saya tahu, untuk bersekolah disini harus berusaha dengan tekun.. Ada tiga orang sepupu saya yang tidak berhasil mewujudkan mimpinya untuk bersekolah di sini sehingga saya harus bersungguh-sungguh.
Ternyata, banyak teman-teman seperjuangan yang memiliki niat yang sama, tidak terkecuali Abram, salah satu sahabat dekat saya. Tak terasa, hari ujian masuk sudah dekat. Saya mulai mencoba mempersiapkan diri; materi apa saja yang akan kuhadapi dan bagaimana jadinya apabila saya diterima atau ditolak. Tak seperti yang kupikirkan, ternyata persaingan terasa berat melihat banyaknya orang-orang yang mengikuti ujian ini. Mereka mempersiapkan diri mereka dengan mengulang-ulang apa yang telah mereka pelajari sedangkan saya? menutup buku dan mengelilingi sekolah tersebut bersama Abram. Karena peristiwa itulah, tumbuh tekad di hati kami: Kami harus bersekolah disini .
Kemudian, tibalah hari yang ditunggu-tunggu, yaitu hari pengunguman. Pada hari itu, Abram mengirimkan sms kepada saya yang berisi: “Selamat, anda diterima di SMA Labschool Kebayoran”. Dengan sedikit rasa gembira, kemudian saya dan bapak saya bergegas menuju ke warnet untuk memastikan apakah benar apa yang disampaikan Abram. Dengan seketika, raut muka saya berubah karena tidak menemukan nomor peserta saya dalam daftar itu. “Tenang saja rez, masih banyak sekolah lain yang bisa menerima. Yang penting, jangan berhenti berusaha.” hibur bapak. Namun apa yang terjadi, ternyata…kami salah melihat daftar. Daftar yang terpampang di layar komputer tersebut adalah daftar peserta yang diterima di SMA Labschool RAWAMANGUN, bukan Kebayoran. Sungguh lega rasanya, ternyata apa yang dikatakan Abram benar. Saya adalah bakal siswa SMA Labschool Kebayoran kini.
Sampailah lagi saya pada saat yang paling ditunggu semua siswa SMP; pengumuman kelulusan dan wisuda. Alhamdulillah, siswa-siswi SMPN 19 waktu itu lulus 100%. Namun, ada hal yang lebih menarik perhatian saya dibandingkan dengan kejadian itu. Ketika nama-nama siswa berprestasi dipanggil maju ke atas panggung, ada sesuatu – entah apa itu – yang membuat saya terkesima. Timbul keinginan saya untuk menjadi seperti mereka. Begitu pula dengan Abram; yang kala itu juga tidak berada di atas panggung. “Rez, nanti ketika kita lulus SMA kita harus seperti mereka. Kelak kita harus berada di atas podium yang sama.” ucap Abram dengan tampak sungguh-sungguh. Saya mengiyakan apa yang ia katakana, dengan sedikit harapan janji ini akan terwujud. Itulah semangat yang mengawali kehidupan kami sebagai siswa SMA Labschool Kebayoran.
Kehidupan sebagai Junior: Apa yang aku pikirkan?
Sebelum “resmi” menjadi murid Labschool, saya dan anak-anak baru lainnya harus mengikuti kegiatan MOS ( Masa Orientasi Siswa). Sebagai anak yang terbiasa dalam “zona nyaman”, saya sedikit merasa kaget dengan budaya baru di sekolah ini. Semua siswa laki-laki harus berambut pendek (baca: botak), lalu semua siswa lari pagi, latihan baris-berbaris bahkan makan saja harus dihitung. Semua ini terasa berat bagi saya pada waktu itu dan hampir-hampir saya menyangka bahwa Labschool adalah sekolah semi-militer (lho?). Ya, MOS terasa menyebalkan ketika masih dijalani namun dapat menjadi kenangan indah (?) dan lucu apabila sudah terlewati. Pada masa inilah saya harus beradaptasi dengan keadaan disini dan mendapat teman-teman baru.
Akhirnya, MOS-pun terlewati. Anak-anak baru yang sudah menjadi siswa-siswi kelas X mulai melakukan pembelajaran akademis seperti biasa. Dimulai dari pre-test matrikulasi yang menentukan apakah murid-murid ini membutuhkan penguatan materi dalam kemampuan dasar tertentu. Alhamdulillah, saya tergolong anak yang tidak membutuhkan matrikulasi dan sempat merasa agak senang dan tenang. Tapi ternyata, pembelajarannya tidak semudah yang saya sangka. Saya mengawali tahun ajaran ini dengan…nilai-nilai merah yang menghiasi rapor bayangan. Saya belum terbiasa dengan sistem pembelajaran di Labschool yang relatif lebih cepat ritmenya dibandingkan ketika SMP dulu. Hal inilah yang membuat saya disarankan oleh orangtua saya untuk mengikuti bimbingan belajar di dekat sekolah. Lagipula, masih ada janji yang harus ditepati; janji untuk berdiri di satu podium bersama Abram kelak. Alhamdulillah, usaha saya terasa tidak sia-sia karena akhirnya saya menempati ranking 3 pada semester 1.
Program “ekstra” yang diadakan oleh Labschool memang tidak hanya MOS saja. Masih ada pesantren kilat, TO (trip observasi), dan BINTAMA. Pada pertengahan Oktober, angkatan 9 akan mengadakan kegiatan TO tersebut. Sebelum TO dilaksanakan, diadakan Pra-TO selama 3 hari. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan saling mengakrabkan diri satu sama lain sehingga siap untuk menjalani TO. Pada saat itu kami membuat nametag, mengecat tongkat, dan beberapa kegiatan persiapan lainnya. Selain itu, masih ada beberapa kegiatan ekstra lainnya.yang terlihat seperti perpeloncoan. Ketika saat makan tiba, saya yang selalu benci pada sistem makan komando, makan layaknya hewan buas dengan membayangkan tampang-tampang menyebalkan para senior (Berlebihan, yak?). Pada saat itu juga, saya menyadari bahwa sebenarnya……… saya adalah orang yang berkepribadian (seperti orang) lemah dan egois; saya selalu ingin semuanya berjalan seperti yang saya inginkan namun tidak mampu berbuat banyak. Terbukti, saya terlihat dan terasa menyebalkan mungkin bagi teman-teman TO saya dan saya mengakuinya belakangan. Terkadang apabila saya mengingat TO, saya merasa senang. Namun terkadang saya merasa malu sendiri atas ketidakberdayaan saya. Timbul rasa ingin memperbaiki diri dan tidak lagi bersikap lemah. Oh ya, angkatan 9 kini telah memili nama, yaitu Nawastra. Nawastra merupakan akronim dari “Nawa Drastha Sandyadira” yang berarti “angkatan 9 yang bermahkotakan persatuan yang kokoh”.
Program lainnya yang saya ikuti adalah LAMPION, yang kepanjangannya adalah “Latihan Kepemimpinan Organisasi Kerohanian Islam SMA Labschool Kebayoran” (emang kepanjangan, sih), yang merupakan sarana penggemblengan dan pelantikan ROHIS. Selain itu, masih ada LAPINSI dan TPO, walaupun saya - yang memang pada dasarnya terlalu soliter – tidak berhasil. Meskipun demikian, tidak ada yang saya sesali karena kedua kegiatan tersebut memberikan pelajaran berharga tersendiri bagi saya. Kegiatan terakhir yang diikuti oleh Nawastra tahun ini adalah BINTAMA. Pada awalnya saya merasa sedikit gentar mendengar cerita kawan-kawan yang pernah merasakan BIMENSI. Malam sebelumnya saya bahkan tak bisa tidur memikirkan apa yang akan kualami disana. Memang, disana kami dilatih agar menjadi lebih “kuat” dan disiplin. Kami diajari sedikit mengenai peraturan militer dasar, survival, dan berbagai kegiatan lainnya. Ternyata, BINTAMA tidak se-sangar yang saya pikirkan, malah paling berkesan dibandingkan TO, MOS, dll. Pelatih yang paling saya ingat tentu adalah pelatih R. Jufrianto alias pelatih Ribut, yang terkenal dengan quote khasnya yaitu “Hey, Kodok!!”. Beliau bahkan memberi saya gelar kehormatan yaitu… Mr. Bean karena ketika langkah tegak maju saya terlihat canggung . Awalnya, ia terlihat usil dan menyebalkan. Namun, karena posisinya sebagai asisten (atau wakil) pendamping peleton 1 dan seiring berjalannya hari, saya merasa makin mengerti beliau. Sepulangnya BINTAMA, hidup malah terasa lebih sepi. Tidak ada lagi “Hey, Kodok!” , “Mr.Bean!!” , teriakan “Labschool!” dan semua gegap gempita itu. Namun saya tidak pernah ingin lebih lama disana dan mengulangi semua ini lagi (hehe).
Singkat cerita, akhirnya saya dapat naik kelas ke kelas XI IPA dengan menempati ranking 4, seperti yang ku cita-citakan. Dibalik sedikit kegembiraan ini, teringat kembali janji bersama Abram dulu; kira-kira bagaimana dengannya? Ia mengirim sms yang intinya menyebutkan bahwa dengan nilai-nilainya, ia tidak dapat masuk jurusan IPA, jurusan yang sempat ia impi-impikan. Namun, masih ada sedikit harapan bahwa janji itu masih bisa terwujud, tak peduli apa yang terjadi pada saat itu. Hidup berjalan terus.
Tahun Kedua: Jurnalistik, kenapa tidak?
Meskipun sudah setahun berlalu, saya merasa masih bukan siapa-siapa. Ketika kawan-kawan yang lain sibuk mempersiapkan Sky Battle, Sky Avenue dan segala Sky-Sky lainnya, saya tidak pernah menjadi panitia sehingga saya kurang bahkan tidak peduli. Saya merasa tidak pernah ikut andil apapun di sini; penonton pun tidak. Bahkan ketika salah seorang panitia meminta dana untuk salah satu kegiatan (yang merasa disebut, maaf) saya hampir tidak mau membayar. Seakan saya kembali ke kehidupan lama yang soliter.
Namun ada satu hal yang membuat saya tidak merasa sepenuhnya sendiri lagi, yaitu ekskul jurnalistik. Ketika orang mendengar eksul jurnalistik, mungkin terbayang sekelompok orang-orang yang tidak punya kerjaan lain selain menulis. Awalnya, saya juga berpikiran demikian dan memilih ekskul ini karena relatif lebih ringan dibandingkan ekskul lainnya. Meskipun demikian, ini tidak sepenuhnya benar. Lebih banyak lagi pengalaman dan pelajaran berharga yang saya dapat. Anggota ekskul ini tidak sebanyak ekskul lainnya memang. Hanya beranggotakan Mugi sebagai pemred (pemimpin redaksi), Rama sebagai wapemred, Abi sebagai desainer grafis, sedangkan saya, Gema, Hafiz, Abram, dan anggota lainnya yang masih duduk di bangku kelas sepuluh menjadi reporter atau kontributor.
Pengalaman berharga yang saya alami salah satunya adalah ketika saya bersama Mugi, Rama, dan Gema mendapat kesempatan untuk bermain-main ke kantor KOMPAS, salah satu surat kabar terbesar di Indonesia. Di sana, kami mendapat pelatihan singkat mengenai dunia jurnalistik, mulai dari teknik penulisan, proses-proses bagaimana sebuah surat kabar sebelum diterbitkan, suka – duka menjadi jurnalis dan mengumpulkan berita, hingga cerita unik seputar jurnalistik. Misalnya, ada sahabat KOMPAS yang melakukan backpacking keliling ASEAN seorang diri ketika lulus SMA bermodalkan uang tabungannya sendiri. Yang tidak kalah penting, kami berempat ditawarkan untuk menulis di rubrik KOMPAS MUDA. Kami berempat kemudian memutuskan untuk menulis tentang Trip Observasi, karena tidak semua sekolah mempunyai program serupa. Akhirnya, saya dan kawan-kawan ekskul jurnalistik kembali mengikuti Trip Observasi. Hanya saja, posisi kami kali ini bukan lagi sebagai peserta, melainkan hanya sebagai jurnalis. Peliputan berjalan secara serius tapi santai. TO kali ini lebih berkesan karena tidak ada lagi teriakan – teriakan senior, namun masih dapat berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di sana walau sebagai pengamat saja. Singkat cerita, tulisan kami akhirnya dimuat di KOMPAS dan surat kabar lainnya. Hal inilah yang menjadi kebanggaan dan prestasi saya satu-satunya ketika bersekolah disini. Dukanya? Labzine, majalah sekolah yang seharusnya terbit satu semester sekali gagal terbit dua edisi karena kesalahan teknis.
Tak terasa, kini saya telah memasuki tahun ketiga. Selama saya bersekolah disini sebagai “bukan siapa-siapa” sekalipun, telah banyak pengalaman dan pelajaran berharga yang saya terima. Cita-cita saya selanjutnya adalah mencari jati diri dan menjadi “seseorang”, bukan lagi si “bukan siapa-siapa” yang soliter. Kesan dan pesan saya selama bersekolah di sini rasanya cukup diungkapkan dalam dua kata:
“No Regrets !”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar